Bakso memang jajanan yang paling digemari di seantero Indonesia. Setiap pojokan jalan pasti ada pedagang Bakso mangkal. Meski ada begitu banyak pedagang bakso bertebaran tak membuat usaha ini seret. Berikut kita ulas salah satu kisah sukses pedagang bakso.
Usaha bakso Ojo Lali adalah salah satu contoh sukes pedagang bakso yang telah menjalankan usaha ini dalam kurun waktu berpuluh puluh tahun.
Usaha yang digawangi seorang bapak asli Sukoharjo Jawa tengah bernama H Mudo Sartono ini memulai semuanya sejak tahun 1978.
Pria berusia 56 tahun ini mengawali usaha dari pedagang bakso keliling. Awalnya karena keterbatasan modal, beliau hanya meminjam pikulan bakso milik teman dan menjajakannya dikawasan Muara Angke Tangerang. Namun dengan berjalannya waktu, beliau akhirnya bisa memiliki sendiri gerobak bakso dan berkeliling di kawasan Grogol Jakarta Barat. Sejak awal Mudo sudah meracik sendiri baksonya, Mudo menginginkan bakso dengan kualitas baik untuk dia jajakan.
Hari demi hari berkeliling dikawasan grogol yang pada tahun itu terkenal sebagai kawasan rawan keamanan membuat dirinya berkali kali tersandung berbagai masalah. Akhirnya Mudo memutuskan pindah rute keliling di daerah Pondok Kopi Jakarta Timur, sekitar tahun 1990..
Namun keajaiban terjadi beberapa saat setelah beliau berpindah tempat. Salah seorang pelanggannya menawarkan sebidang tanah untuk dia sewa di kawasan Pondok Kopi, kawasan jalan Robusta. Lokasi ini cukup strategis untuk mangkal jualan bakso. Tak berpikir panjang penawaran ini jelas beliau ambil, daripada harus berkeliling.. Apalagi pemilik tanah memberi keringanan bebas sewa untuk pemakaian 1 bulan pertama.
Ternyata warung bakso barunya ini adalah pintu suksesnya sebagai pedagang bakso. Tak memakan waktu lama bagi Mudo untuk mendapatkan banyak pelanggan. Bahkan berkat wrung bakso ini pula dia kemudian mendapat julukan Triman dari para pelanggan, hingga kini beliau lebih dikenal sebagai mas Triman daripada nama aslinya.
Kunci utama dari kesuksesannya adalah kualitas baksonya yang selalu terjaga. Beliau selalu memastikan daging bahan baku bakso adalah yang terbaik, dengan bumbu original . Selain itu Beliau juga menambahkan tentang manfaat hubungan baik dengan semua konsumen juga berperan penting untuk menjaga kelanggengan pelanggan.
Pada tahun 2004 beliau bisa membuka cabang pertamanya dia kawasan Bekasi dan berlanjut dikawasan Mutiara Gading setahun kemudian. Saat ini, setelah tiga dasawarsa, beliau sudah memiliki 6 cabang di sekitar kawasan Jakarta dan membutuhkan daging sapi hingga 60 kg per hari. Hasil fantastis dari seorang pedagang bakso kan?
Kamis, 14 November 2013
Kisah Sukses Pedagang Gula Merah
Masa kecil berbentuk lingkaran ini,dikenal dengan sebutan gula dus.
Undurkan Diri dari PNS, Suparman jadi Wiraswasta Sukses
Potensi bisnis gula merah di Sukabumi, cukup menjanjikan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi produk ini untuk bumbu makanan. Namun, karena harga gula merah saat ini terbilang cukup mahn bentuk yang lebih praktis, sesuai dengan kebutuhan konsumen.
HM Suparman, begitulah nama lengkap Pengusaha Gula Merah Olahan 3 Jaya, Bisnis yang digelutinya terbilang cukup sukses. Pasalnya, Suparman mampu memproduksi gula merah setiap hari sekitar 4 ton. Sehingga, keuntungan yang diraihnya dari tahun ke tahun meningkat sekitar 100 sampai 200 persen.
Sebelum terjun di usaha ini, Suparman bekerja sebagai PNS. Lalu pria ini memutuskan mengudurkan diri dari pekerjaan tersebut, dan memilih berwiraswasta.
“Dulu saya juga sempat menjadi PNS, tapi sambil usaha jualan gula merah di pasar,”katanya saat ditemui Radar Sukabumi di pabriknya, kemarin.
Tapi karena melihat prospek bisnis gula merah yang cukup menjanjikan. Akhirnya, pria kelahira 53 tahun silam ini lebih memilih untuk tetap fokus di bisnis olahan gula merah.
Suparman juga menjelaskan ide awal pengolahan gula merahnya, yang ia dapat ketika harga-harga gula pada saat itu sangat mahal. Melihat kondisi seperti itu, ide kreatif Suparman pun muncul untuk membuat terobosan baru, yaitu dengan mengolah kembali gula-gula tersebut tanpa penambahan gula pasir dan gula tebu. Juga tanpa bahan pengawet, agar mutunya tetap terjamin. “Gula itu saya olah menjadi kemasan kecil-kecil, berbentuk lingkaran yang dikemas dalam dus kecil,”ulasnya.
Sejak itulah, produknya dikenal dengan sebutan gula dus, dan peminatnya pun semakin bertambah. Bahkan Suparman sendiri mulai kewalahan menerima pesanan dari konsumennya. Untuk mutunya sendiri, ia menjamin berkualitas bagus.
“Sesuai dengan visi misi usaha kita, yaitu menciptakan gula merah dengan harga ekonomis, bersih dan sehat tanpa penggunaan bahan kimia lainnya,”terang pria yang sudah memulai karirnya sejak 2004.
Harga yang ditawarkan terbilang cukup ekonomis, yaitu Rp70 ribu/ dus. Sedangkan untuk eceran, dijualnya sekitar Rp500 per kantong. Saat ini, Suparman hanya memasarkan produknya ke Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
“Pengennya sih produk yang kita jual tembus pasar nasional,”harapnya.
Tapi, karena ada beberapa hal keinginan tersebut tertunda. “Tapi kita tetap berusaha kok,”katanya.
Karena permintaannya bertambah, ia pun merasa selalu kewalahan menerima orderan dari konsumen. Untuk itu, pria yang menjual beberapa macam gula merah olahan, seperti Gula Merah Ahen, Gula 39 Yaya dan Gula Merah Cap Gerobak, membutuhkan karyawan lebih banyak lagi.
Berkat usaha yang terbilang cukup sukses ini, dirinya berhasil menyekolahkan kedua putranya sampai ke perguruan tinggi. Usaha olahan gula ini diteruskan oleh kedua putranya. “Semoga usahaini terus maju dan semakin diminati konsumen,”tegasnya.(*)
Undurkan Diri dari PNS, Suparman jadi Wiraswasta Sukses
Potensi bisnis gula merah di Sukabumi, cukup menjanjikan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi produk ini untuk bumbu makanan. Namun, karena harga gula merah saat ini terbilang cukup mahn bentuk yang lebih praktis, sesuai dengan kebutuhan konsumen.
HM Suparman, begitulah nama lengkap Pengusaha Gula Merah Olahan 3 Jaya, Bisnis yang digelutinya terbilang cukup sukses. Pasalnya, Suparman mampu memproduksi gula merah setiap hari sekitar 4 ton. Sehingga, keuntungan yang diraihnya dari tahun ke tahun meningkat sekitar 100 sampai 200 persen.
Sebelum terjun di usaha ini, Suparman bekerja sebagai PNS. Lalu pria ini memutuskan mengudurkan diri dari pekerjaan tersebut, dan memilih berwiraswasta.
“Dulu saya juga sempat menjadi PNS, tapi sambil usaha jualan gula merah di pasar,”katanya saat ditemui Radar Sukabumi di pabriknya, kemarin.
Tapi karena melihat prospek bisnis gula merah yang cukup menjanjikan. Akhirnya, pria kelahira 53 tahun silam ini lebih memilih untuk tetap fokus di bisnis olahan gula merah.
Suparman juga menjelaskan ide awal pengolahan gula merahnya, yang ia dapat ketika harga-harga gula pada saat itu sangat mahal. Melihat kondisi seperti itu, ide kreatif Suparman pun muncul untuk membuat terobosan baru, yaitu dengan mengolah kembali gula-gula tersebut tanpa penambahan gula pasir dan gula tebu. Juga tanpa bahan pengawet, agar mutunya tetap terjamin. “Gula itu saya olah menjadi kemasan kecil-kecil, berbentuk lingkaran yang dikemas dalam dus kecil,”ulasnya.
Sejak itulah, produknya dikenal dengan sebutan gula dus, dan peminatnya pun semakin bertambah. Bahkan Suparman sendiri mulai kewalahan menerima pesanan dari konsumennya. Untuk mutunya sendiri, ia menjamin berkualitas bagus.
“Sesuai dengan visi misi usaha kita, yaitu menciptakan gula merah dengan harga ekonomis, bersih dan sehat tanpa penggunaan bahan kimia lainnya,”terang pria yang sudah memulai karirnya sejak 2004.
Harga yang ditawarkan terbilang cukup ekonomis, yaitu Rp70 ribu/ dus. Sedangkan untuk eceran, dijualnya sekitar Rp500 per kantong. Saat ini, Suparman hanya memasarkan produknya ke Jakarta, Jawa Barat dan Banten.
“Pengennya sih produk yang kita jual tembus pasar nasional,”harapnya.
Tapi, karena ada beberapa hal keinginan tersebut tertunda. “Tapi kita tetap berusaha kok,”katanya.
Karena permintaannya bertambah, ia pun merasa selalu kewalahan menerima orderan dari konsumen. Untuk itu, pria yang menjual beberapa macam gula merah olahan, seperti Gula Merah Ahen, Gula 39 Yaya dan Gula Merah Cap Gerobak, membutuhkan karyawan lebih banyak lagi.
Berkat usaha yang terbilang cukup sukses ini, dirinya berhasil menyekolahkan kedua putranya sampai ke perguruan tinggi. Usaha olahan gula ini diteruskan oleh kedua putranya. “Semoga usahaini terus maju dan semakin diminati konsumen,”tegasnya.(*)
Pengusaha Gorengan Cendana yang Sukses
Januari 1974 menjadi bulan yang sangat istimewa bagi Yusuf Amin (21 tahun). Pemuda asal Cirebon yang tidak lulus SD ini menikahi seorang gadis belia bernama Sumarni (14 tahun). Selanjutnya, hari-hari Yusuf dihiasi perjuangan mencari sesuap nasi. Bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk sang pujaan hati, yang telah menjadi tanggungannya.
Orang tua serta mertua Yusuf hanyalah buruh tani. Saban hari, Yusuf terlihat membantu mereka di sawah kala musim semai dan tuai padi tiba. Sawah-sawah itu hampir setahun Ia garap tanpa rasa letih, meski terik matahari menyengat kulitnya.
Kemarau panjang pun menghampiri. Yusuf menganggur. Sesekali ia menatap sang istri tercinta sedang mengelus perutnya yang tampak membesar. Asa pun muncul. Yusuf putar otak, mencari solusi.
Ia lantas memutuskan untuk merantau ke Bandung. Dengan bekal Rp 500 -- cukup untuk sekali naik bus – ia meminta izin pada istri serta mertuanya, untuk berangkat ke kota Kembang. Pada kedua orang tuanya, Yusuf memohon doa, agar di perantauan anaknya dapat meraih nafkah yang berkah.
Tiba di Bandung, Yusuf menginap di rumah Maripah, kakak sepupunya di Cihaurgeulis. Di sana ia kembali mencari cara untuk berjualan. Beruntung ada seorang kenalan yang bersedia meminjamkan gerobaknya pada Yusuf.
Penuh semangat, Yusuf pun memulai usahanya sebagai pedagang sekoteng hangat. Setiap malam usai shalat Isya, Yusuf mulai menjajakan dagangannya dari Cihaurgeulis, Taman Sari, Cihampelas, hingga Gegerkalong.
Udara malam di Bandung kala itu, tahun 70-an, terasa sangat dingin. Apalagi hujan deras biasa turun, saat Yusuf sampai di daerah Gegerkalong.
Namun ia tak patah arang. Setiap dorongan gerobak mengingatkan istri tercintanya yang tengah hamil 9 bulan. Maka rupiah demi rupiah yang ia terima pun langsung disimpan ke dalam celengan kaleng.
Hingga pukul 02.00 dini hari, Yusuf baru mengakhiri perjuangannya.
“Saya punya tekad membahagiakan istri. Jadi saya harus tekun. Meski hujan deras, serta udara malam yang sangat dingin, saya harus tetap kuat,” kenang H. Yusuf saat ditemui Alhikmah di kediamannya di bilangan Sukamantri, Bandung, April lalu.
Cirebon, 25 Agustus 1975, seorang bayi laki-laki, Jaja Zakia Yamani, akhirnya lahir dari rahim sang istri, Sumarni. Yusuf merasa bahagia sekali. Hasil jerih payah dia selama 20 hari berjualan sekoteng, akhirnya bisa membiayai persalinan istrinya.
Tepat usia anaknya menginjak 8 bulan. Yusuf memboyong anak serta istrinya ke Bandung. Masih di Cihaurgeulis, bekas jongko pasar yang tak layak huni, menjadi rumah sewaan Yusuf dan keluarga. Sisanya, sejumlah 4.500, ia belikan gerobak sekoteng milik temannya itu. Ia pun kembali berjualan.
Banting Stir Menjadi Tukang Gorengan
Dua tahun sudah berlalu. Ternyata hasil jerih payahnya sebagai pedagang sekoteng belum mampu mensejahterakan keluarganya. Cita-cita Yusuf memang luar biasa. Ia ingin menyekolahkan semua anaknya hingga jenjang perkuliahan. Tentu sebuah cita-cita melangit dari seorang pedagang kecil di kota yang sangat besar.
“Saya bertekad, saya ingin anak-anak saya kuliah semua. Saya ingin rumah tangga mereka tidak seperti saya. Cukup saya saja serta ibunya. Mereka harus lebih baik,” ucap pria yang lahir di Cirebon 11 September 1953 itu.
Tahun 1977 menjadi catatan sejarah bagi Yusuf. Secara tiba-tiba ia membanting setir usahanya menjadi pedagang kudapan khas sunda, gorengan. Gerobak pisang goreng serta peralatan masak milik salah satu kenalannya ia beli seharga Rp 67.500.
Bilangan Ciliwung, Bandung, lantas menjadi tempat pertama Yusuf menjual gorengannya. Sayang, Yusuf hanya bertahan semalam. Ia tidak tega melihat disampingnya ada seorang ibu yang juga menjual gorengan.
Setelah berkeliling kota Bandung, akhirnya Yusuf memilih mangkal di bilangan Cendana. Bersama sang istri tercinta, serta anaknya, Jaja Zakia Yamani yang baru menginjak usia dua tahun, Yusuf pun semangat berjualan. Kali ini Yusuf memulai usahanya usai menunaikan shalat Dzuhur, hingga pukul 21.00.
Hari pertama, Yusuf mengeluarkan modal Rp 4000 untuk belanja bahan. Hasil penjualan yang didapat seharian hanya 400 perak. Sekali lagi Yusuf tak mengeluh.
Bagi Yusuf, mencari nafkah harus dengan ketekunan, dan memohon kepada Allah SWT sang Pemberi Rejeki. Karenanya, Yusuf tak lupa melaksanakan ragam kewajibannya sebagai seorang muslim, sebelum memohon pertolongan Allah Swt.
Yusuf beserta istri selalu menunaikan shalat fardhu tepat waktu. Selain itu mereka pun terbiasa melaksanakan shaum sunnah Senin dan Kamis. Bahkan Yusuf terbilang rajin shalat tahajud.
Sehari kemudian dengan modal masih Rp 4000, Yusuf mendapatkan uang 800. Hari demi hari uang yang didapat pun terus bertambah hingga mencapai angka 4000 rupiah.
“Saya sama ibu huhujanan sambil dorong gerobak. Waktu Itu anak saya masih kecil (2 tahun). Kalau tidur dimasukin ke gerobak memakai kardus. kalau mau pulang juga begitu. Saya masukin sambil dorong gerobak dari Cendana sampai monumen Unpad,” kenang Yusuf.
Buah Jerih Payah
Ketekunan dan kesabarannya menuai hasil. Oktober 1983 Yusuf, membeli sebuah rumah sederhana. Tahun 1988 saat omsetnya menembus ongkos haji berdua, ia pun langsung memenuhi panggilan Allah ke tanah Suci beserta istri tercinta.
Sepulang dari Mekah, pelanggan Yusuf kian meningkat. Mulai dari kalangan bawah sampai konglomerat, rela antri demi dagangannya. Diantara mereka ternyata ada yang berasal dari luar kota, semisal; Surabaya dan Jakarta. Bahkan anggota DPRD Jawa Barat pun tak segan ikut memesan gorengan Yusuf. Sejak itu, produknya dikenal dengan sebutan Gorengan Cendana.
“Rasanya kata orang lezat. Gorengannya beda dari yang lain, garing dan minyaknya ga terlalu banyak,” ungkap Yusuf.
Hasil jerih payah dalam mencari nafkahnya itu, kini Yusuf telah memiliki 5 buah rumah. Satu rumah ia dedikasikan untuk kepentingan umat dengan membuat Majelis Taklim ibu-ibu yang digagas istrinya. Sisanya untuk anak-anak, serta karyawannya yang kini sudah mencapai 10 orang.
Empat anaknya, ia kuliahkan hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan dua diantaranya menjadi dokter umum. Ia pun menyekolahkan buah hati saudaranya di kampung halaman, bahkan hingga ke jenjang perkuliahan.
Bentuk bakti kepada orang tua dan mertuanya, Yusuf bangunkan rumah untuk mereka di Cirebon. Tak lupa, ia pun memberangkatkan mereka ke Mekah.
Selain itu, Yusuf juga memberikan beberapa bidang tanah untuk digarap oleh saudara-saudaranya di Cirebon. Ia pun memperkerjakan tetangganya yang menganggur. Saat ini sudah ada 10 pegawai di tempat usahanya.
Semuanya itu dilakukannya saat Yusuf masih sangat sederhana. Prinsipnya memberi sesuatu tidak mesti menunggu kaya. “Tekad saya, Allah ngasih rejeki. Supaya rejeki itu langgeng, maka harus berbagi. Dan memang benar ada manfaatnya. Itu yang saya rasakan,” ungkap Yusuf.
Saat ini ia mengaku meraup omset 3-4 juta rupiah perhari atau sekitar 90-120 juta rupiah perbulan. Omset itu bahkan naik berlipat saat bulan ramadhan yang penuh berkah itu tiba.
“Saya pertama ke Bandung minta restu orang tua, pidua’na (minta doanya-red) supaya hidup saya berkah. Waktu itu saya tidak minta harta. Itu mungkin yang dinamakan rejeki berkah. Pendapatan sedikit, tapi cukup untuk yang lain. Apalagi pendapatan banyak,” kata Yusuf, menutup perbincangan.
Orang tua serta mertua Yusuf hanyalah buruh tani. Saban hari, Yusuf terlihat membantu mereka di sawah kala musim semai dan tuai padi tiba. Sawah-sawah itu hampir setahun Ia garap tanpa rasa letih, meski terik matahari menyengat kulitnya.
Kemarau panjang pun menghampiri. Yusuf menganggur. Sesekali ia menatap sang istri tercinta sedang mengelus perutnya yang tampak membesar. Asa pun muncul. Yusuf putar otak, mencari solusi.
Ia lantas memutuskan untuk merantau ke Bandung. Dengan bekal Rp 500 -- cukup untuk sekali naik bus – ia meminta izin pada istri serta mertuanya, untuk berangkat ke kota Kembang. Pada kedua orang tuanya, Yusuf memohon doa, agar di perantauan anaknya dapat meraih nafkah yang berkah.
Tiba di Bandung, Yusuf menginap di rumah Maripah, kakak sepupunya di Cihaurgeulis. Di sana ia kembali mencari cara untuk berjualan. Beruntung ada seorang kenalan yang bersedia meminjamkan gerobaknya pada Yusuf.
Penuh semangat, Yusuf pun memulai usahanya sebagai pedagang sekoteng hangat. Setiap malam usai shalat Isya, Yusuf mulai menjajakan dagangannya dari Cihaurgeulis, Taman Sari, Cihampelas, hingga Gegerkalong.
Udara malam di Bandung kala itu, tahun 70-an, terasa sangat dingin. Apalagi hujan deras biasa turun, saat Yusuf sampai di daerah Gegerkalong.
Namun ia tak patah arang. Setiap dorongan gerobak mengingatkan istri tercintanya yang tengah hamil 9 bulan. Maka rupiah demi rupiah yang ia terima pun langsung disimpan ke dalam celengan kaleng.
Hingga pukul 02.00 dini hari, Yusuf baru mengakhiri perjuangannya.
“Saya punya tekad membahagiakan istri. Jadi saya harus tekun. Meski hujan deras, serta udara malam yang sangat dingin, saya harus tetap kuat,” kenang H. Yusuf saat ditemui Alhikmah di kediamannya di bilangan Sukamantri, Bandung, April lalu.
Cirebon, 25 Agustus 1975, seorang bayi laki-laki, Jaja Zakia Yamani, akhirnya lahir dari rahim sang istri, Sumarni. Yusuf merasa bahagia sekali. Hasil jerih payah dia selama 20 hari berjualan sekoteng, akhirnya bisa membiayai persalinan istrinya.
Tepat usia anaknya menginjak 8 bulan. Yusuf memboyong anak serta istrinya ke Bandung. Masih di Cihaurgeulis, bekas jongko pasar yang tak layak huni, menjadi rumah sewaan Yusuf dan keluarga. Sisanya, sejumlah 4.500, ia belikan gerobak sekoteng milik temannya itu. Ia pun kembali berjualan.
Banting Stir Menjadi Tukang Gorengan
Dua tahun sudah berlalu. Ternyata hasil jerih payahnya sebagai pedagang sekoteng belum mampu mensejahterakan keluarganya. Cita-cita Yusuf memang luar biasa. Ia ingin menyekolahkan semua anaknya hingga jenjang perkuliahan. Tentu sebuah cita-cita melangit dari seorang pedagang kecil di kota yang sangat besar.
“Saya bertekad, saya ingin anak-anak saya kuliah semua. Saya ingin rumah tangga mereka tidak seperti saya. Cukup saya saja serta ibunya. Mereka harus lebih baik,” ucap pria yang lahir di Cirebon 11 September 1953 itu.
Tahun 1977 menjadi catatan sejarah bagi Yusuf. Secara tiba-tiba ia membanting setir usahanya menjadi pedagang kudapan khas sunda, gorengan. Gerobak pisang goreng serta peralatan masak milik salah satu kenalannya ia beli seharga Rp 67.500.
Bilangan Ciliwung, Bandung, lantas menjadi tempat pertama Yusuf menjual gorengannya. Sayang, Yusuf hanya bertahan semalam. Ia tidak tega melihat disampingnya ada seorang ibu yang juga menjual gorengan.
Setelah berkeliling kota Bandung, akhirnya Yusuf memilih mangkal di bilangan Cendana. Bersama sang istri tercinta, serta anaknya, Jaja Zakia Yamani yang baru menginjak usia dua tahun, Yusuf pun semangat berjualan. Kali ini Yusuf memulai usahanya usai menunaikan shalat Dzuhur, hingga pukul 21.00.
Hari pertama, Yusuf mengeluarkan modal Rp 4000 untuk belanja bahan. Hasil penjualan yang didapat seharian hanya 400 perak. Sekali lagi Yusuf tak mengeluh.
Bagi Yusuf, mencari nafkah harus dengan ketekunan, dan memohon kepada Allah SWT sang Pemberi Rejeki. Karenanya, Yusuf tak lupa melaksanakan ragam kewajibannya sebagai seorang muslim, sebelum memohon pertolongan Allah Swt.
Yusuf beserta istri selalu menunaikan shalat fardhu tepat waktu. Selain itu mereka pun terbiasa melaksanakan shaum sunnah Senin dan Kamis. Bahkan Yusuf terbilang rajin shalat tahajud.
Sehari kemudian dengan modal masih Rp 4000, Yusuf mendapatkan uang 800. Hari demi hari uang yang didapat pun terus bertambah hingga mencapai angka 4000 rupiah.
“Saya sama ibu huhujanan sambil dorong gerobak. Waktu Itu anak saya masih kecil (2 tahun). Kalau tidur dimasukin ke gerobak memakai kardus. kalau mau pulang juga begitu. Saya masukin sambil dorong gerobak dari Cendana sampai monumen Unpad,” kenang Yusuf.
Buah Jerih Payah
Ketekunan dan kesabarannya menuai hasil. Oktober 1983 Yusuf, membeli sebuah rumah sederhana. Tahun 1988 saat omsetnya menembus ongkos haji berdua, ia pun langsung memenuhi panggilan Allah ke tanah Suci beserta istri tercinta.
Sepulang dari Mekah, pelanggan Yusuf kian meningkat. Mulai dari kalangan bawah sampai konglomerat, rela antri demi dagangannya. Diantara mereka ternyata ada yang berasal dari luar kota, semisal; Surabaya dan Jakarta. Bahkan anggota DPRD Jawa Barat pun tak segan ikut memesan gorengan Yusuf. Sejak itu, produknya dikenal dengan sebutan Gorengan Cendana.
“Rasanya kata orang lezat. Gorengannya beda dari yang lain, garing dan minyaknya ga terlalu banyak,” ungkap Yusuf.
Hasil jerih payah dalam mencari nafkahnya itu, kini Yusuf telah memiliki 5 buah rumah. Satu rumah ia dedikasikan untuk kepentingan umat dengan membuat Majelis Taklim ibu-ibu yang digagas istrinya. Sisanya untuk anak-anak, serta karyawannya yang kini sudah mencapai 10 orang.
Empat anaknya, ia kuliahkan hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan dua diantaranya menjadi dokter umum. Ia pun menyekolahkan buah hati saudaranya di kampung halaman, bahkan hingga ke jenjang perkuliahan.
Bentuk bakti kepada orang tua dan mertuanya, Yusuf bangunkan rumah untuk mereka di Cirebon. Tak lupa, ia pun memberangkatkan mereka ke Mekah.
Selain itu, Yusuf juga memberikan beberapa bidang tanah untuk digarap oleh saudara-saudaranya di Cirebon. Ia pun memperkerjakan tetangganya yang menganggur. Saat ini sudah ada 10 pegawai di tempat usahanya.
Semuanya itu dilakukannya saat Yusuf masih sangat sederhana. Prinsipnya memberi sesuatu tidak mesti menunggu kaya. “Tekad saya, Allah ngasih rejeki. Supaya rejeki itu langgeng, maka harus berbagi. Dan memang benar ada manfaatnya. Itu yang saya rasakan,” ungkap Yusuf.
Saat ini ia mengaku meraup omset 3-4 juta rupiah perhari atau sekitar 90-120 juta rupiah perbulan. Omset itu bahkan naik berlipat saat bulan ramadhan yang penuh berkah itu tiba.
“Saya pertama ke Bandung minta restu orang tua, pidua’na (minta doanya-red) supaya hidup saya berkah. Waktu itu saya tidak minta harta. Itu mungkin yang dinamakan rejeki berkah. Pendapatan sedikit, tapi cukup untuk yang lain. Apalagi pendapatan banyak,” kata Yusuf, menutup perbincangan.
Langganan:
Postingan (Atom)